Samarinda – “Tubuh manusia bukan alat tukar bantuan sosial.” Pernyataan ini disampaikan tegas oleh dr. Andi Satya Adi Saputra, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, merespons wacana kontroversial mengenai kemungkinan menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) di wilayahnya.
Menurut Andi, yang juga seorang dokter kandungan, vasektomi merupakan metode kontrasepsi permanen (Kontrasepsi Tetap/Kornitap) yang harus dilandasi pada keputusan pribadi yang matang dan sukarela. “Vasektomi itu keputusan besar yang tidak bisa dipaksakan. Ini harus dilakukan secara sadar dan tanpa tekanan,” ujarnya di Gedung DPRD Kaltim, Rabu (28/05/2025).
Ia menekankan bahwa pengaitan antara prosedur medis seperti vasektomi dengan hak menerima bansos sangat tidak etis dan berpotensi melanggar hak asasi manusia. Menurutnya, bansos merupakan hak dasar warga negara, bukan imbalan atas kepatuhan terhadap kebijakan tertentu.
“Kalau itu diwajibkan sebagai syarat bansos, itu salah besar. Bantuan sosial adalah hak warga. Tidak boleh ada tekanan fisik atau mental yang mendikte keputusan medis pribadi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Andi mengkhawatirkan dampak negatif dari kebijakan tersebut terhadap masyarakat miskin. Ia menyebut hal itu bisa memperkuat stigma dan diskriminasi terhadap kelompok berpenghasilan rendah. “Jangan sampai program ini menjadikan kelompok ekonomi lemah sebagai target diskriminatif. Itu justru akan menimbulkan luka sosial baru,” tambahnya.
Sebagai bagian dari upaya pengendalian penduduk, Andi menyatakan dirinya mendukung program Keluarga Berencana (KB). Namun, ia menegaskan bahwa pencapaian keberhasilan program ini harus melalui edukasi dan pendekatan persuasif, bukan paksaan ataupun syarat tidak masuk akal.
“Negara seharusnya hadir lewat pendidikan dan kampanye sadar, bukan dengan memaksakan keputusan medis. Pembangunan keluarga itu harus dimulai dari kesadaran, bukan ketakutan,” pungkasnya.
Polemik ini menjadi sorotan penting di tengah upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagai wilayah yang tengah menghadapi tantangan demografis dan ekonomi, Kalimantan Timur dituntut mengedepankan kebijakan berbasis hak dan martabat, bukan pendekatan koersif yang berisiko menambah ketidaksetaraan. (ADV).