SURABAYA – Dalam praktik peradilan, publik kerap berhadapan dengan sikap administratif yang membingungkan, menyimpang dari asas Hukum dan asas keterbukaan. Salah satu contoh, yang terjadi di Pengadilan Agama (PA) Surabaya, kemarin pada hari Jum’at 1 Agustus 2025.
Hartanto Boechori mengatakan praktik peradilan itu berawal saat petugas menolak memberikan salinan berkas perkara kepada pemohon yang membawa Surat Kuasa Khusus sah dari salah satu pihak perkara. Penolakan itu beralasan bahwa pemohon sekalipun memegang Surat Kuasa, namun bukan pengacara (Advokat) para pihak perkara.
Lebih lanjut, Hartanto menjelaskan, saat itu ia tengah menolong anggota nya, dan anggota nya merupakan Departemen Pusat Usaha Pers PJI yang digugat cerai istrinya. Saat itu dirinya diberi Surat Kuasa Khusus yang substansinya sempit dan terbatas.
“Dengan Surat Kuasa Khusus itu menurutnya ‘Khusus mewakili Pemberi Kuasa/Tergugat untuk meminta dari PA Surabaya, segala jenis berkas perkara perceraian atas gugatan istrinya,” kata Hartanto pada media.
Ia menambahkan, di PA Surabaya, saya diarahkan ke loket informasi dan pengaduan. Surat Kuasa asli dan berbagai dokumen pendukung saya serahkan dan saya sampaikan tujuan mengambil berkas perceraian. Namun, ternyata perkara tersebut telah diputus Verstek (tanpa kehadiran Tergugat).
” Saat saya menyerahkan surat kuasa asli dan berbagai dokumen pendukung di PA Surabaya untuk mengambil berkas perceraian, alhasil perkara tersebut telah diputus Verstek (tanpa kehadiran tergugat),” ujarnya.
Kata Hartanto menyampaikan, setelah petugas membawa berkas saya kemudian masuk dalam ruangan dan beberapa saat petugas kembali menemui saya. Petugas kemudian menanyakan suatu hal yang dirasa dinilai saya itu . Dengan nada rada sinis saya menjawabnya.aneh, saya menilai apa yang ditanya dan ini sungguh aneh untuk apa itu.
Artinya, ini adalah hak tergugat terkait permasalahan hukumnya untuk di lanjutkan, namun petugas berkelit itu tidak tida bisa dikarenakan bapak bukan pengacara dari pihak perkara, ungkapnya.
” Saya meminta untuk ditunjukkan aturan hukumnya, namun petugas itu tidak bisa menjawab nya. Dan mereka kembali masuk lke dalam ruangan dengan waktu yang agak lama. Dan ternyata , petugas meminta petunjuk ‘Bu Waka’, yang ditegaskan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Surabaya,” Ujarnya..
Petugas tersebut, meminta kepada saya untuk membuat surat pengajuan sebagai pertimbangan. Dari permintaan itu, kembali saya juga meminta kepastian dari ‘Bu Waka atau siapapun yang berkompeten, bahwa permintaan saya dipastikan akan diberikan jadi bukan sepihak dan kepastian waktu itu yang saya minta, tukasnya Hartanto.
Selang beberapa waktu petugas menemui saya, mereka kembali masuk ke dalam dan pihak Humas PA Mustafa menemui diri saya.
Humas PA , Mustafa kembali melobi meminta terhadap saya untuk membuat surat pengajuan sebagai langkah ‘KIP’ (Keterbukaan Informasi Publik), terangnya melanjutkan.
Hartanto mengaku, apa yang lobi oleh Humas PA Mustafa ini sungguh aneh. Dari keanehan itu, saya kembali menjelaskan bahwa dirinya mewakili pihak Tergugat untuk mengambil salinan putusan, hanya itu,Titik.
” Jangan banyak lobi aneh bapak Humas PA, saya mewakili dari pihak tergugat dan kedatangan saya ini untuk mengambil salinan putusan,itu saja, titik, jika permintaan saya ini ditolak, saya meminta alasan hukumnya,” tegasnya dengan sinis
Setelah peraduan lobi dengan alot, akhirnya Humas PA Surabaya memberikan salinan putusan yang saya minta, sebutnya.
Dari proses yang begitu aneh, saya telah memprediksi dan sudah mengetahui jika ini akan mendapatkan perlakuan demikian.
Namun untuk memastikan itu, saya sengaja menabrak nya dari berbagai alasan , kendatipun diri saya masih awam, tetapi puluhan tahun saya banyak membantu permasalahan Hukum masyarakat dan mempelajari Hukum secara otodidak dari itulah saya memahami akan pemahaman Hukum persoalan penolakan seperti itu tidak berdasar hukum, bahkan telah melanggar Hukum, tuturnya.
Sebab, dasar hukum itu jelas dan masih berlaku yang tertuang di Pasal 123 HIR (Herzien Inlandsch Reglement); “Jika pihak-pihak yang berperkara tidak datang menghadap sendiri, maka mereka boleh menyuruh orang lain dengan surat kuasa khusus untuk mewakilinya”.
Artinya, pihak yang bersengketa tidak wajib hadir sendiri dan dapat diwakili oleh siapapun, asal membawa Surat Kuasa Khusus yang sah, dan tidak harus Advokat.
Sebagai catatan, HIR (HIR Staatsblad 1941 No. 44) merupakan Aturan Hukum Acara Perdata dan Pidana, bagian dari Kitab Hukum Acara Perdata yang masih berlaku di wilayah Jawa dan Madura. Dan sepemahaman saya, pasal 123 HIR tetap sah dan berlaku hingga kini, menjadi landasan utama kewenangan Kuasa Non Advokat dalam perkara perdata.
Selain itu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1959 menyebutkan; “Salinan putusan hanya boleh diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan atau kepada wakilnya yang sah”.
Ini memperjelas pengambilan salinan putusan dapat dilakukan oleh siapa saja yang diberi kuasa hukum secara sah. Bukan hanya oleh pengacara resmi. Dan sepengetahuan saya, 2 dasar Hukum ini belum ada peraturan/aturan Hukum yang menganulir.
Diketahui, pentingnya pembenahan internal itu fakta bahwa petugas loket pengadilan menolak permohonan pengambilan berkas dengan alasan yang bertentangan dengan dasar hukum yang sangat mendasar, mengindikasikan adanya kebijakan internal yang perlu ditinjau ulang. Dan
petugas loket hanya menjalankan perintah atasan. Maka sorotan seyogyanya ditujukan pada struktur komando dan standar operasional di baliknya. Karena
Pengadilan adalah lembaga publik, bukan institusi privat. Penafsiran hukum bukan hak prerogatif pejabat administrasi, melainkan ranah wewenang yudisial yang mesti didasarkan pada norma hukum tertulis. Bila ruang pelayanan hukum dalam peradilan dipersempit secara sepihak, akan menjauhkan masyarakat dari keadilan itu sendiri. Hukum pun kehilangan roh utamanya sebagai pelindung dan pengayom rakyat.
Keadilan hak setiap warga negara, bukan milik sekelompok profesi atau golongan tertentu. Pengadilan seyogyanya menjadi tempat perlindungan terakhir yang dapat diandalkan oleh rakyat kecil. Bila hukum dan administrasi peradilan dijalankan tidak semestinya, maka yang tersisa hanyalah pagar-pagar birokrasi yang justru membatasi akses masyarakat terhadap keadilan.
Ini bukanlah semata kritik, tetapi ajakan untuk introspeksi dan pembenahan. Saya percaya banyak aparatur pengadilan yang profesional, cerdas, dan terbuka terhadap koreksi. Namun benang kusut dalam pelayanan hukum harus diluruskan sampai elemen terbawah, agar cita-cita reformasi hukum tak berhenti di atas kertas, dan masyarakat tak dipaksa tunduk pada kebijakan yang tak sejalan dengan hukum itu sendiri, imbuhnya.(An)