Samarinda – “Bagaimana bisa bicara mutu pendidikan kalau guru saja belum digaji?” Seruan keras itu datang dari Darlis Pattalongi, Sekretaris Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, menanggapi keterlambatan pembayaran gaji guru honorer di wilayahnya yang sudah berlangsung sejak awal 2025. Persoalan ini menyorot ketimpangan kesejahteraan tenaga pendidik di tengah program unggulan daerah seperti Gratispol yang justru menyita perhatian anggaran.
Dalam pernyataannya, Darlis menyayangkan prioritas pemerintah daerah yang terlalu fokus pada program-program populis seperti pendidikan gratis, namun melupakan aspek mendasar seperti kelayakan hidup guru.
“Jangan sampai Gratispol ini membuat kita lalai terhadap kualitas guru, kualitas kesehatan, dan kelayakan hidup,” ujarnya belum lama ini.
Ia menegaskan bahwa mutu pendidikan tidak akan mungkin ditingkatkan jika kebutuhan dasar para guru, terutama yang masih berstatus honorer, masih diabaikan. Menurutnya, peningkatan kualitas pengajaran sangat berkaitan erat dengan kesejahteraan para pendidik itu sendiri.
“Bagaimana mungkin kita meng-upgrade kualitas keilmuannya kalau kelayakan hidupnya tidak ditingkatkan? Salah satu cara meningkatkan kualitas guru dan dosen adalah dengan meningkatkan kelayakan hidup mereka,” kata Darlis.
Masalah ini diperparah dengan kekacauan data tenaga honorer yang dinilai menjadi akar persoalan dalam proses pencairan anggaran. Darlis menyebut bahwa database guru honorer di Kalimantan Timur tergolong kacau, sehingga menjadi hambatan serius dalam penyaluran hak mereka.
“Pertama, database-nya harus diperbaiki karena seringkali yang menjadi kendala itu adalah persoalan data. Kami pernah diskusi di Kementerian Pendidikan di Jakarta, dan diakui Kalimantan Timur itu termasuk yang databasenya terlalu kacau,” jelasnya.
Ia bahkan mengungkap adanya praktik manipulasi data oleh sejumlah sekolah demi mengejar akreditasi, seperti mencantumkan nama tenaga pengajar fiktif yang sebenarnya tidak pernah mengajar.
“Sekolah itu kadang melaporkan tenaga pengajarnya yang non-P3K seolah-olah ada, padahal sebenarnya tidak ada. Ini dilakukan karena mereka mengejar akreditasi,” katanya.
Menurut Darlis, pemerintah daerah harus bertanggung jawab menyediakan anggaran layak bagi guru honorer yang telah aktif menjalankan tugasnya, meskipun belum berstatus P3K.
“Karena kenyataannya mereka memang mengajar selama ini. Walaupun tidak masuk dalam P3K, mereka tetap mengisi ruang-ruang pembelajaran di sekolah-sekolah kita,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Darlis menekankan bahwa program seperti Gratispol tak boleh mengabaikan aspek fundamental pendidikan, yakni kesejahteraan guru sebagai pilar utama dalam mencerdaskan generasi bangsa.
“Gratispol itu hanya salah satu faktor untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada di Kalimantan Timur. Tapi jangan sampai alokasi anggaran untuk kesejahteraan guru diabaikan. Harus tetap diperhatikan,” tegasnya. (ADV).